JOSPHYSIO
Wednesday, October 23, 2024
Monday, December 24, 2018
HARD TISSUE ANATOMY
OLEH : Joses Marthinus
Dimes
Mahasiswa : S1 Fisioterapi Unhas
HARD TISSUE ANATOMY
SKELETAL TISSUE
Jaringan skelet adalah
jaringan ikat yang dimodifikasi, dimana sel dan seratnya meiliki organisasi
tertentu dan menjadi kental sehingga jaringannya kaku.
A. CARTILAGE
1.
Hyaline
Cartilage
Kartilago
hialin memebentuk kerangka sementara dimana banyak tulang berkembang.
Sisa-sisanya dapat dilihat sebagai kartilago articular sendi sinovial. Ephyseal
pelat pertumbuhan antara bagian tulang yang mengeras selama pertumbuhan, dan
kartilago kosta dari tulang rusuk. Pada permukaan gabungan itu memberikan
tingkat elestisitas terbatas untuk mengimbangi dan menyerap guncangan, serta
memberikan permukan yang relatif halus memungkinkan pergerakan bebas terjadi.
Dengann bertambahnya usia, kartilago hialin cenderung menjadi kalsifikasi dan
kadang-kadang keras.
2.
White
Fibrocartilage
Fibrocartilage
putih mengandung bundel garis putih berserat yang memberikan kekuatan daya
tarik yang besar yang dikombinasikan dengan beberapa elastisitas sehingga mampu
menahan tekanan yang cukup besar.
Hal
ini banyak ditemukan dalam sistem muskuliskeletal seperti :
a.
Dalam
cakram intervertebralis antara vertebra yang berdekatan
b.
Dalam
meniskus sendi lutut
c.
Dilabrum
sekitarnya dan daerah dalam fossa glenoid dari sendi bahu dan acetabulum dari
sendi panggul.
d.
Dalam
cakram artikular dari radiokarpal (pergelangan tangan),
sternoklavicular,acromioclavicular dan sendi temporomandibular.
e.
Sebagai
penutup articular tulang yang mengeras dalam membran, misalnya klavicula dan
mandibula. Fibrocartilage putih dapat mengeras.
3.
Yellow
Fibrocartilage
Fibrocartilago
kuning mengandung bundel serat elastic yang sedikit dan tidak ada jaringan
berserat putih. Sehingga ia tidak dapat terkalsifikasi atau keras dan tidak ditemukan
dalam sistem musculoskeletal.
B. BONE
Tulang atau kerangka adalah penopang tubuh vertebrata.
Tanpa tulang, pasti tubuh kita tidak bisa tegak berdiri. Tulang mulai terbentuk
sejak bayi dalam kandungan, berlangsung terus sampai dekade kedua dalam susunan
yang teratur.
Untuk tujuan deskritif agar dapat memahami konsep dasar
tulang berdasarkan bentuknya tulang dapat diklasifikasikan sebagai :
a.
Tulang
panjang, ditemukan dalam anggota badan : masing – masing terdiri dari
poros(diaphysis) dan dua ujung yang diperluas (epiphysis).
b.
Tulang
pendek (short Bone), disebut tulang pendek karena gandarya pendek. Tulang
pendek hanya terdapat pada tangan dan kaki. Contoh : tulang – tulang telapak
tangan (metatarsus bones) dan tulang – tulang jari tangan (phalangeus bones).
c.
Tulang
pipih (Flat Bone), biasanya disusun oleh dua atau lebih tulang padat datar yang
oleh bunga karang. Pada umumnya tulang pipih bersama-sama dengan tulang lainnya
membentuk rongga. Misalnya pada kepala mereka membetuk rongga otak. Pada rangka
dada mereka membetuk rangka dada. Contoh tulang pipih antara lainn : tulang
dada(os sternum), dan tulang ubun-ubun (os paristale).
d.
Tulang
tak beraturan bentuknya (irreguler Bone), dalam tubuh manusia banyak tulang
yang bentuknya tidak dapat dikelompokkan kedalam ketiga kelompok khusus diatas,
yaitu tulang yang tidak beraturan bentuknya. Contoh : tulang belakang (os
colummna vertebra), tulang rahang bawah (os mandibula) dan tulang rahang atas
(os maxilla).
1.
Bone
Development
a.
Manusia
memiliki rangka tubuh ketika dalam tahap perkembangan embrio. Rangka tubuh
dalam masa embrio masi berupa tulang rawan(kartilago). Kartilago dibentuk oleh
sel-sel mesenkim. Di dalam kartilago tersebut aka di isi oleh osteoblas.
Osteoblas merupakan sel-sel pembentuk tulang keras. Osteoblas akan mengisi
jaringan sekelilingnya dan membenstuk osteosit (sel-sel tulang).
b.
Sel
– sel tulaang dibentuk secara konsentris (dari arah dalam ke luar). Setiap
sel-sel tulang akan mengelilingi pembukuh darah dan serabut saraf, membentuk
sistem Havers. Selain itu, disekeliling sel-sel tulang ini terbentuk senyawa
protein pembentuk matriks tulang. Martriks tulang akan mengeras karna adanya
garam kapur (CaCO3) dan garam fosfat (Ca3(PO4)2).
c.
Didalam
tulang terdapat sel-sel osteoklas. Sel-sel ini berfungsi menyerap kembali sel
tulang yang sudah rusak dan dihancurkan. Adanya aktivitas sel osteoklas, tulang
akan berongga. Rongga ini kelak akan berisi sum-sum tulang. Osteoklas membentuk
rongga sedangkan osteoblas terus membentuk osteosit baru kearah permukaan luar.
Dengan demikian, tulang akan bertambah besar dan berongga.
d.
Proses
pembentukan tulang keras disebut osifikasi. Proses ini dibedakan menjadi dua
yaitu osifikasi intramembranosa dan osifikasi intrakartilagenosa. Osifikasi
intramembranosa disebut juga penulangan langsung(osifikasi primer). Proses ini
terjadi pada tulang pipih, misalnya tuang tengkorak. Penulangan ini terjadi
secara langsung dan tidak akan terulang lagi untuk selamanya. Contoh osifikasi
intrakartilagenosa adalah pembentukan tulang pipah. Osifikasi ini menyebabkan
tulang bertambah panjang. Perhatikan gambar dibawah.
2.
Osifikasi intra membrane
Proses pembentukan
tulang dari jaringan mesenkim menjadi jaringan tulang. Contohnya pada proses
pembentukan tulang pipih. Mesenkim merupakan bagian dari lapisan mesoderm, yang
kemudian berkembang menjadi jaringan ikat dan darah. Tulang tengkorak berasal
langsung dari sel-sel mesenkim melalui proses osifikasi intramembrane.
3.
Osifikasi
Endokondral
Proses pembentukan tulang yaang terjadi dimana sel-sel mesenkim
berdiferensiasi lebih dulu menjadi kartilago (jaringan rawan) lalu berubah
menjadi jaringan tulang, misal proses pembentukan tulang panjang, ruas tulang
belakang dan pelvis. Proses osifikasi ini bertanggung jawab pada pembentukan
sebagian besar tulang manusia. Pada proses ini sel-sel tulang (osteoblas) aktif
membelah dan muncul dibagian tengah dari tulang rawan yang disebut certer
osifikasi. Osteoblas selanjuntnya berubah menjadi osteosit, sel-sel tulang
dewasa ini tertanam dengan kuat pada matriks tulang.
A.
Tahapan dalam
pengapuran dan pengerasan tulang hingga menjadi kartilago.
B.
Reptresentasi
skematis osteoblas dan aktivitas osteoklas.
C.
Pusat
pengerasan ditulang panjang, dan bagian-bagian tulang disetiap bentuk.

RINGKASAN SKELETAL TISSUE
|
|
KARTILAGO
|
BONE
|
Tambahan untuk tulang memberikan kekuatan, kekakuan dan beberapa
elastisitas.
|
Matriks organik sel dan serat yang diresapi garam mineral yang
dikelilingi oleh periosteum
|
Kartilago hialin membentuk tulang kerangka sementara dan permukaan
artikular sendi sinovial.
|
Tulang compac ditemmukan di poros (diaphysis) panjang tulang dan sebagai
cangkang tipis yang menutupi tulang cancellous
|
Fibrocartilage putih memiliki kekuatan tarik yang besar dan mampu menahan
tekanan-tekanan
|
Tulang cancellous ditemukan diujung tulang panjang (epiphysis), tulang
pendek dan datar
|
Fibrocartilage kuning mengandung serat elastis
|
Tulang berkembang baik oleh intramembran atau osifikasi endochondral
dimulai dari serangkaian pusat osifikasi primer da sekunder
|
4.
Skeletal
Muscle
Otot
rangka adalah jaringan otot lurik yang melekat pada tulang. Otot rangka terdiri
dari serat yang terlihat seperti campuran pita gelap dan terang dibundel
bersama yang berjalan disepanjang tulang.
1.
Struktur
dan komponen otot
Hampir
semua otot rangka menempel pada tulang. Otot memiliki struktur dan komponen
tersendiri seperti :
a.
Tendon,
jaringan ikat fibrosa(tidak elastis) yang tebal dan berwarna putih yang
menghubungkan otot rangka dengan tulang. Urat-urat ini berupa serabbut-serabut
simpai yang putih, berkilap, tidak elastic.
b.
Fascia,
merupakan jaringan ikat gabungan dari jaringan fibrus dan areolar yang
membungkus dan menghimpun otot menjadi satu.
c.
Sarcolemma
(membran sel /serat otot) dan sarcoplasma, yg merupakan unit structural
jaringan otot yang berdiameter 0,01-0,1 mm dengan panjang 1-40 mm yang melapisi
suatu sel otot yang fungsinya sebagai pelindung otot.
d.
Miofibril,
merupakan serat – serat yang dapat dalam otot.
e.
Miofilamen,
merupakan benang-benang/filament halus yang berasal dari myofibril.
f.
Sarkoplasma,
merupakan cairan selotot yang fungsinya untuk tempat dimana myofibri dan
miofilamen berada.
g.
Rektikulum
sarkplasma, adalah bagian padat dari fasia dalam dan menambatkan tendon-tendon
yang berjalan melalui pergelangan dan mata kaki masuk kedalam tangan dan kaki.
C.
JOINTS
1.
Fibrous
Joints
a.
Sutura
b.
Gompohosis
c.
syndesmosis
2.
Cartilaginous
Joints
a.
Primary
Cartilaginous
b.
Secondary
Cartilaginous
3.
Synovial
Joints
a.
Plane
Joints
b.
Saddle
Joints
c.
Hinge
Joints
d.
Pivot
Joints
e.
Ball
And Socket Joint
f.
Condyloid
Joints
g.
Ellipsoid
Joint
D.
RECEPTOR
IN JOINTS END LIGAMENTS
Sunday, December 23, 2018
HNP (Hernia Nucleus Pulposus) LAPORAN KASUS
Halaman
HALAMAN JUDUL..................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Anatomi Columna Vertebralis................................................................. 1
B. Biomekanik Lumbal................................................................................ 3
BAB II PATOFISIOLOGI........................................................................................ 4
A. Definisi Hernia Nukleus Pulposus........................................................... 4
B. Epidemiologi........................................................................................... 4
C. Etiologi.................................................................................................... 5
D. Klasifikasi HNP...................................................................................... 5
E. Patomekanisme........................................................................................ 6
F. Tanda dan Gejala.................................................................................... 6
G. Manifestasi Klinis.................................................................................... 7
BAB III INTERVENSI FISIOTERAPI..................................................................... 8
A. Komunikasi Terapeutik............................................................................ 8
B. Infrared.................................................................................................... 8
C. Interferensi............................................................................................. 10
D. Friction................................................................................................... 10
E. Stretching Exercise................................................................................. 12
F. Traksi...................................................................................................... 12
G. Range Of Motion Exercise..................................................................... 13
H. Dinamic Strengthening........................................................................... 13
I. Bugnet Exercise...................................................................................... 13
BAB IV MANAJEMEN FISIOTERAPI.................................................................. 14
A. Proses Pengukuran dan Pemeriksaan Fisioterapi.................................... 14
B. Diagnosis Fisioterapi.............................................................................. 18
C. Problem, Planning dan Program Pemeriksaan
Fisioterapi...................... 18
D. Evaluasi dan Modifikasi Fisioterapi....................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 22
LAMPIRAN ................................................................................................................ 24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Anatomi Kolumna Vertebralis
Kolumna vertebralis tersusun atas seperangkat
sendi antara korpus vertebra yang berdekatan, sendi antara arkus vertebra,
sendi kostovertebralis dan sendi sakroiliaka. Ligamentum longitudinal dan
diskus intervertebralis menghubungkan vertebra yang berdekatan. Ligamentum
longitudinal anterior, suatu pita tebal dan lebar, berjalan memanjang pada
bagian depan korpus vertebra dan diskus intervertebralis, dan bersatu dengan periosteum
dan annulus fibrosus (Reijo, 2006).
Ligamentum longitudinalis anterior berfungsi untuk menahan gaya
ekstensi, sedangkan dalam kanalis vertebralis pada bagian posterior korpus
vertebra dan diskus intervertebralis terletak ligamentum longitudinal
posterior, ligamentum longitudinalis posterior berperan dalam menahan gaya
fleksi. Ligamentum anterior lebih kuat dari pada posterior, sehingga prolaps
diskus lebih sering kearah posterior. Pada bagian posterior terdapat struktur
saraf yang sangat sensitif terhadap penekanan yaitu radiks saraf spinalis,
ganglion radiks dorsalis (Reijo, 2006).
Diantara korpus vertebra mulai dari vertebra
servikalis kedua sampai vertebra sakralis terdapat diskus intervertebralis.
Diskus ini membentuk sendi fibrokartilago yang lentur antara korpus vertebra (Reijo,
2006).
Gambar 1.
Columna Vertebra
(Sumber: Reijo,
2006)
Diskus Intervertebralis terdiri dari dua bagian pokok; nukleus pulposus
ditengah dan anulus fibrosus di sekelilingnya. Diskus dipisahkan dari tulang
yang di atas dan dibawahnya oleh dua lempengan tulang rawan yang tipis (Reijo,
2006).
Nukleus pulposus adalah bagian tengah diskus yang bersifat semigelatin,
nukleus ini mengandung berkas-berkas serat kolagen, sel-sel jaringan penyambung
dan sel-sel tulang rawan. Zat ini berfungsi sebagai peredam benturan antara
korpus vertebra yang berdekatan. Selain itu. juga memainkan peranan penting
dalam pertukaran cairan antara diskus dan pembuluh-pembuluh darah kapiler
(Reijo, 2006).
Anulus fibrosus terdiri atas cincin-cincin fibrosa konsentris yang
mengelilingi nukleus pulposus. Anulus fibrosus berfungsi untuk
memungkinkan gerakan antara korpus vertebra
(disebabkan oleh struktur spiral dari serabut-serabut); untuk menopang nukleus
pulposus; dan meredam benturan. Jadi anulus berfungsi mirip dengan simpail di
sekeliling tong air atau seperti gulungan pegas, yang menarik korpus vertebra
bersatu melawan resistensi elastis nukleus pulposus, sedangkan nukleus pulposus
bertindak sebagai bola penunjang antara korpus vertebra (Reijo, 2006).
Diskus intervertebralis berukuran kira-kira seperempat panjang kolumna
vertebralis. Diskus paling tipis terdapat pada daerah torakal sedangkan yang
paling tebal tedapat di daerah lumbal. Bersamaan dengan bertambahnya usia,
kandungan air diskus berkurang dan menjadi lebih tipis (Reijo, 2006).
Gambar 2. Diskus
Intravertebra
(Sumber:
Reijo, 2006)
B. Biomekanika Lumbal
Gerakan pada collumna vertebralis bergantung pada
segmen mobile, yaitu 2 sendi facet dan jaringan lunak
diantaranya. Segmen tersebut memberikan beberapa derajat gerakan pada setiap
region (Kurniasih, 2011; Pratiwi 2016).
Pada regio lumbal, orientasi sendi facet lebih
ke dalam bidang sagital sehingga gerak yang dominan adalah fleksi
– ekstensi. Disamping itu, terjadi gerakan lateral fleksi
kiri dan kanan serta rotasi (Kurniasih, 2011; Pratiwi 2016).
Pada gerakan fleksi, corpus vertebra bagian
atas akan bergerak menekuk kearah anterior sehingga terjadi peregangan
pada discus intervertebralis bagian posterior (Kurniasih, 2011;
Pratiwi 2016).
Pada gerakan ekstensi, corpus vertebra bagian
atas akan bergerak menekuk kearah posterior, sementara discus menjadi
mampat pada bagian posterior dan teregang pada bagian anterior.
Ligamen longitudinal anterior juga mengalami penguluran sementara
ligamen longitudinal posterior rileks. Dengan demikian, gerakan ekstensi
dibatasi oleh struktur tulang dari arkus vertebra dan ketegangan ligamen
longitudinal anterior (Kurniasih, 2011; Pratiwi 2016).
Pada gerakan lateral fleksi, corpus vertebra
bagian atas akan bergerak kearah ipsilateral, sementara discus sisi
kontralateral mengalami ketegangan karena bergeser kearah kontralateral (Kurniasih,
2011; Pratiwi 2016).
Pada bagian rotasi, vertebra bagian atas
berotasi pada vertebra bagian bawah, tetapi gerakan rotasi ini hanya
terjadi disekitar pusat rotasi. Discus intervertebralis tidak
berperan dalam gerakan rotasi, sehingga gerakan rotasi sangat dibatasi
oleh sendi facet vertebra lumbal (Kurniasih, 2011; Pratiwi 2016).
BAB II
PATOFISIOLOGI
A. Definisi Hernia Nukleus Pulposus (HNP)
Hernia Nukleus Pulposus
(HNP) adalah suatu keadaan dimana terjadi pengeluaran isi nukleus dari dalam
diskus intervertebralis (ruptur diskus) sehingga nukleus dari diskus menonjol
ke dalam anulus (cincin fibrosa sekitar diskus) dan memberikan manifestasi
kompresi saraf (Helmi, 2012).
Hernia nukleus pulposus
adalah keadaan ketika nukleus pulposus keluar menonjol untuk kemudian
menekan ke arah spinal melalui anulus spinal yang robek. HNP merupakan suatu
nyeri yang disebapkan oleh proses patologi di kolumna vertebralis pada diskus
intervertebralis/ diskogenik (Muttaqin, 2008).
Jadi, Hernia
Nukleus pulposus merupakan suatu gangguan yang melibatkan ruptur anulus
fibrosus sehingga nukleus pulposus menonjol (bulging)/ mengalami
herniasi dan menekan akar saraf spinal, menimbulkan nyeri dan defisit
neurologis.
B. Epidemiologi
Prevalensi HNP berkisar antara 1 – 2 % dari
populasi. Usia yang paling sering adalah usia 30 – 50 tahun. Pada penelitian
HNP paling sering dijumpai pada tingkat L4-L5; titik tumpuan tubuh di L4-L5-S1.
Penelitian Dammers dan Koehler pada 1431 pasien dengan herniasi diskus
lumbalis, memperlihatkan bahwa pasien HNP L3-L4 secara bermakna dari usia tua
dibandingkan dengan pasien HNP L4-L5. (Pinzon, 2012)
HNP merupakan salah satu penyebab dari nyeri
punggung bawah yang penting. dan merupakan salah satu masalah kesehatan yang
utama. Inside HNP di Amerika Serikat adalah sekitar 5% orang dewasa. Kurang
lebih 60-80% individu pernah mengalami nyeri punggung dalam hidupnya. Nyeri
punggung bawah merupakan 1 dari 10 penyakit terbanyak di Amerika Serikat dengan
angka prevalensi berkisar antara 7,6-37% insidens tertinggi dijumpai pada usia
45-60 tahun. Pada penderita dewasa tua, nyeri punggung bawah mengganggu
aktivitas sehari-hari pada 40% penderita dan menyebabkan gangguan tidur pada
20% penderita akan mencari pertolongan medis, dan 25% diataranya perlu rawat
inap untuk evaluasi lebih lanjut. (Pinzon, 2012)
C. Etiologi
Penyebab dari Hernia Nucleus
Pulposus (HNP) biasanya dengan meningkatnya usia terjadi perubahan degeneratif
yang mengakibatkan kurang lentur dan tipisnya nucleus pulposus (Moore dan Agur,
2013). Selain itu Hernia nucleus pulposus (HNP) kebanyakan juga disebabkan
karena adanya suatu trauma derajat sedang yang berulang mengenai discus
intervertebralis sehingga menimbulkan sobeknya annulus fibrosus. Pada kebanyakan
pasien gejala trauma bersifat singkat, dan gejala ini disebabkan oleh cidera
pada diskus yang tidak terlihat selama
beberapa bulan atau bahkan dalam beberapa tahun (Helmi, 2012)
D. Klasifikasi HNP
Hernia Nukleus Pulposus terbagi dalam 4 grade
berdasarkan keadaan herniasinya, dimana ekstrusi dan sequestrasi merupakan
hernia yang sesungguhnya, yaitu. (Company, 2000 ; Reijo, 2006 ; Lucas, 2003)
1. Protrusi diskus intervertebralis : nukleus
terlihat menonjol ke satu arah tanpa kerusakan annulus fibrosus.
2. Prolaps diskus intervertebral : nukleus
berpindah, tetapi masih dalam lingkaran anulus fibrosus.
3. Extrusi diskus intervertebral : nukleus keluar
dan anulus fibrosus dan berada di bawah ligamentum, longitudinalis posterior.
4. Sequestrasi diskus intervertebral : nukleus
telah menembus ligamentum longitudinalis posterior.
Gambar
3. Grade Hernia Nukleus Pulposus
(Sumber:
Reijo, 2006)
E. Patomekanisme
Pada tahap pertama sobeknya anulus fibrosus itu bersifat sirkumferensial. Oleh karna adanya gaya traumatik yang berulang,
robekan tersebut menjadi lebih besar dan timbul sobekan radikal. Apabila hal
itu terjadi, maka resiko HNP hanya menunggu waktu dan trauma berikutnya. Manifestasi dari robeknya anulus fibrosus berlanjut pada
penonjolan pada diskus intervertebra yang menekan secara parsial sisi lateral
dari medula spinalis. Kondisi kemudian secara progresif berlanjut pada kondisi
herniasi diskus menekan medula spinalis (Shankar, 2009).
Suatu
gaya presipitasi gaya traumatik ketika hendak menegakkan badan waktu
terpeleset, mengangkat benda berat, dan sebagainya memberikan respons sobeknya annulus fibrosus yang lebih berat.
Jebolnya (herniasi) nukleus pulposus
bisa ke korpus vertebra di atas atau di bawahnya, bisa juga menjebol langsung
ke kanalis vertebralis. Penjebolan tersebut dapat dilihat pada foto rontgen
polos dan dikenal sebagai nodus
schmorl. Sobekan sirkumferensial dan radial pada annulus fibrosus diskus intervertebralis berikut dengan
terbentuknya nodus schmorl
merupakan kelainan yang mendasari low
back pain subkronik atau kronik yang kemudian disusul oleh nyeri
sepanjang tungkai yang dikenal sebagai iskhialgia
atau siatika. Menjebolnya nukleus pulposus ke kanalis
vertebralis berarti bahwa nukleus
pulposus menekan pada radiks yang bersama sama dengan arteria
radikularis berada dalam bungkusan dura. Hal tersebut terjadi kalau tempat
penjebolan di sisi lateral. Bilamana tempat herniasinya di tengah-tengah, sudah
barang tentu tidak ada radiks yang terkena. Lagipula, oleh karna pada tingkat
L2 dan terus ke bawah sudah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka herniasi
di garis tengah tidak akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior. Setelah
terjadi HNP sisa diskus intervertebralis mengalami lisis sehingga dua korpora
vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan (Shankar, 2009).
Proses
penuaan mengakibatkan diskus kehilangan protein polisakarida sehingga kandungan air pada nukleus pulposus menurun à Terjadi Trauma à (beberapa bulan/ tahun kemudian
saat proses degenerasi terjadi) nukleus pulposus terdorong keluar
sehingga menekan akar saraf à menyebabkan nyeri, perubahan sensai
hingga penurunan reflex (Shankar, 2009).
F. Tanda dan Gejala
Gejala yang sering muncul
adalah :
1. Nyeri
pinggang bawah yang intermitten (dalam beberapa minggu sampai bebberapa tahun).
Nyeri menjalar sesuai dengan distribusi saraf sciatic.
2. Sifat
nyeri khas dari posisi berbaring ke duduk, nyeri mulai dari pantat dan terus
menjalar ke bagian belakang lutut kemudian ke tungkai bawah.
3. Nyeri
bertambah hebat karena pencetus seperti gerakan-gerakan pinggang saat batuk
atau mengejan, berdiri, atau duduk untuk jangka waktu yang lama dan nyeri
berkurang klien beristirahat berbaring.
4. Penderita
sering mengeluh kesemutan (parostesia) atau baal bahkan kekuatan otot menurun
sesuai dengan distribusi persaraan yang terlibat.
5. Nyeri
bertambah bila daerah L5-S1 (garis antara dua krista iliaka) ditekan.
(Muttaqin,
2008)
G. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis utama yang muncul
adalah rasa nyeri di punggung bawah disertai otot-otot sekitar lesi dan nyeri
tekan. HNP terbagi atas HNP sentral dan lateral. HNP sentral akan menimbulkan
paraparesis flasid, parestesia dan retensi urine. Sedangkan HNP lateral bermanifestasi
pada rasa nyeri dan nyeri tekan yang terletak pada punggung bawah, di
tengah-tengah area bokong dan betis, belakang tumit, dan telapak kaki. Kekuatan
ekstensi jari kelima kaki berkurang dan reflex achiller negative. Pada HNP
lateral L5-S1 rasa nyeri dan nyeri tekan didapatkan di punggung bawah, bagian
lateral pantat, tungkai bawah bagian lateral, dan di dorsum pedis. Kelemahan m.
gastrocnemius (plantar fleksi pergelangan kaki), m. ekstensor halusis longus
(ekstensi ibu jari kaki). Gangguan reflex Achilles, defisit sensorik pada
malleolus lateralis dan bagian lateral pedis (Setyanegara dkk, 2014).
INTERVENSI
FISIOTERAPI
Pada kasus hernia nucleus pulposus
(HNP), manajemen fisioterapi yang dapat diberikan terkait pengurangan rasa
nyeri, pelepasan entrapment saraf, mengurangi spasme, peningkatan lingkup gerak
sendi, peningkatan kekuatan otot, mengembalikan aktivitas fungsional
sehari-hari dan lain-lain.
Berikut ini adalah intervensi yang
dapat diberikan pada pasien dengan kondisi hernia nucleus pulposus (HNP)
adalah:
A.
Komunikasi
Terapeutik
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk
kesembuhan pasien. Komunikasi menjadi tidak efektif karena kesalahan dalam
menafsirkan pesan yang diterimanya. Jika kesalahan penerimaaan pesan
terus-menerus berlanjut dapat berakibat pada ketidakpuasan baik dari pasien
maupun tenaga kesehatan itu sendiri. Komunikasi yang dilakukan secara verbal
dan non-verbal menghasilkan pemahaman pasien terhadap keadaan kesehatannya,
peluang dan kendalanya, sehingga dapat bersama–sama mencari (Syafirah, 2017).
B.
Infrared
Terdapat 2 efek pemberian infrared
dalam HNP, yaitu:
1.
Efek fisiologis
Pengaruh
fisiologis sinar inframerah, jika sinar ini diabsorbsi oleh kulit, maka panas
akan timbul pada tempat di mana sinar tadi diabsorbsi. Inframerah yang
bergelombang pendek (7.700 – 12.000 A) penetrasinya sampai lapisan dermis atau
sampai pada lapisan di bawah kulit, sedang yang bergelombang panjang (diatas
12.000 A) penetrasinya hanya sampai pada superficial epidermis. Dengan adanya
panas ini temperatur naik dan pengaruh-pengaruh lain akan terjadi. Pengaruh
terebut antara lain :
a.
Meningkatkan proses metabolism
Proses
metabolisme terjadi pada lapisan amperficial kulit kemudian akan meningkat
sehingga pemberian oksigen dan nutrisi kepada jaringan lebih diperbaiki begitu
juga sampah pembakaran.
b.
Vasodilatasi pembuluh darah
Dengan
adanya reaksi panas maka terjadi reaksi peradangan pada tubuh, kuliat akan
tampak kemerahan yang disebut erythema. Erythema terjadi disebabkan karena
adanya energi panas yang diterima oleh ujung-ujung saraf sensoris kemudian
mempengaruhi mekanisme pengatur panas. Mekanisme vasomotor mengadakan reaksi
dengan jalan pelebaran pembuluh darah sehingga sejumlah panas dapat diratakan
ke seluruh jaringan lewat sirkulasi darah. Dengan sorkulasi ini maka oksigen
dan nutrisi ke jaringan akan meningkat, dengan demikian sel darah putih atau
antibody juga akan meningkat. Dengan demikian pemeliharaan jaringan menjadi
lebih baik dan perlawanan terhadap agen penyebab proses radang semakin baik.
c.
Pigmentasi
Penyinaran
berulang-ulang pada sinar infra merah akan menimbulkan pigmentasi pada tempat
yang disinari, pigmentasi ini tidak merata, hal tersebut disebabkan karena
adanya perusakan pada sebagian sel-sel darah merah di tempat tersebut.
d.
Pengaruh terhadap saraf sensoris
Pemanasan
yang ringan memiliki pengaruh sedatif terhadap ujung-ujung saraf sensoris
sedang pemanasan yang keras dapat menyebabkan iritasi. Sebab adanya kandungan
sinar uv di dalamnya.
e.
Pengaruh terhadap jaringan otot
Kenaikan
temperatur disamping membantu terjadinya relaksasi juga akan meningkatkan
kemampuan otot untuk berkontraksi.
f.
Destruksi jaringan
Bisa
terjadi bila penyinaran yang diberikan menaikkan temperatur jaringan yang
tinggi dan berpangsung dalam waktu yang lama sehingga terjadi di luar toleransi
penderita.
g.
Menaikkan temperatur tubuh
Disamping
terjadi pemerataan panas, juga terjadi penurunan darah sistemik karena adanya
panas akan merangsang pusat pengatur panas tubuh untuk meratakan panas dengan
jalan timbul dilatasi yang bersifat general, vasodilaatasi ini akan
menyakibatkan tahanan perifer menurun. Penurunan ini diikuti dengan penurunan
tekanan darah sistemik.
h.
Mengaktifkan kerja kelenjar keringat
Pengaruh
rangsanagan panas yang dibawa ujung-ujung saraf sensoris dapat mengaktifkan
kerja kelenjar keringat. (Aras dan Ahsaniyah, 2017)
2.
Efek terapeutik
a.
Relief of pain
Apabila
diberikan mild heating, maka pengurangan nyeri disebabkan oleh adanya efek
sedative pada superficial nerve ending. Apabila diberikan stronger heating,
maka akan terjadi counter irritation yang akan menimbulkan pengurangan rasa
nyeri. Rasa nyeri ditimbulkan oleh karena adanya akumulasi sisa-sisa hasil
metabolisme yang disebut zat “P” yang menumpuk di jaringan, dengan adanya infra
red yang memperlancar sirkulasi darah maka zat “P” juga akan ikut terbuang sehingga nyeri berkurang.
b.
Relaksasi otot
Diketahui
bahwa relaksasi dapat dicapai bila jaringan otot tersebut dalam keadaan hangat.
Dengan pemberian infrared maka dapat menurunkan spasme dan membuat relaksasi.
c.
Meningkatkan suplai darah
Adanya
peningkatan temperatur dan menyebabkan terjadinya vasodilatasi. Sehingga
terjadi peningkatan sirkulasi darah ke area setempat. Hal ini utamanya terjadi
pada jaringan superfisial.
d.
Menghilangkan sisa-sisa hasil metabolism
Penyinaran
di daerah yang luas akan mengaktifkan glandula gudoifera (kelenjar keringat) di
seluruh badan, sehingga terjadi peningkatan pembuangan sisa-sisa hasil
metabolisme melalui keringat. (Aras dan Ahsaniyah, 2017)
C.
Interferensi
Penggunaan
interferensi dengan frekuensi yang tepat bertujuan untuk menstimulasi saraf
sensorik yang ingin dirangsang sehingga dapat menghasilkan mekanisme “gait control” (misalnya frekuensi antara
80-130 Hz) dan juga mengaktifkan mekanisme opioid (<10 Hz) yang berhubungan
dengan perununan nyeri fisiologis (Samuel dan Maiya, 2015). Berdasarakn
penelitian yang dilakukan oleh Fuentes et al (2010), interferensi mempunyai
efek dalam peningkatan sirkulasi darah, pengurangan nyeri, memblok konduksi
saraf dan menimbulkan efek placebo.
D.
Friction
Friction
secara sirkular melibatkan penerapan gesekan dan tekanan pada kedalaman lesi
yang dinggap sebagai penyebab nyeri atau berkurangnya fungsi. Gaya yang
diterapkan secara sirkular terhadap jaringan bertujuan untuk melepaskan
jaringan yang mengalami spasme (pelepasan aktin-miosin). Secara mekanis,
friction ini dapat meningkatkan sirkulasi darah local, pengurangan
nyeri/analgesi, dan meepaskan perlengketan pada ligament, tendon atau otot.
Friction secara sirkular dengan penekanan yang dalam dapat menyebabkan
stimulasi ujung nosiseptif yang terhubung dengan serat Aδ dan mekanoreseptor
yang ditemukan dalam jaringan lunak yang terhubung dengan serat Aβ yang
berdiameter besar. Serat berdiameter besar ini memiliki efek pada posterior
horn cell (PHC) di medulla spinalis yang
akan menghambat transmisi nosiseptif berdiameter kecil melalui mekanisme “gait
control”. Oleh karena itu, inhibisi presinaptik pada system saraf pusat akan
memodulasi nyeri perifer dan mengurangi persepsi dari nyerinya (Doley et al,
2013).
Selain
itu, friction juga dapat menghambat neurotransmisi dari system saraf pusat karena adanya rangsangan nosiseptif pada central inhibitory nuclei pada otak
(nucleus raphe dan area periaqueductal di bagian abu-abu dari otak tengah) yang
menyebabkan pelepasan bahan kimia dari neuron pada otak yang menghalangi aksi
nosiseptif neurotransmitter (encepalin dan endorphin). Akibatnya, dalam hal
memodulasi nyeri, friction dapat menyebabkan inhibisi presinaptik pada system
saraf pusat dan menghambat rasa sakit oleh produksi dari encefalin. Friction
juga dapat meningkatkan sirkulasi darah dalam jaringan lunak sehingga dapat
meningkatkan ekskresi asam laktat atau zat inflamasi dan memfasilitasi skresi
endogenus opiates (Doley et al, 2013).
E.
Stretching
Exercise
Tujuan pemberian stretching yaitu:
1. Untuk
meningkatkan lingkup gerak sendi yang disebabkan karena jaringan lunak dalam
hal ini m. erector spine dan m. Quadratus lumborum kehilangan kemampuan untuk
memangjang sebagai akibat dari adhesi, kontraktur, dan scar, sehingga
menyebabkan keterbatasan fungsional atau kecacatan.
2. Mencegah
keterbatasan yang dapat menyebabkan deformitas.
3. Mencegah
kelemahan otot dan pemendekan jaringan.
4. Digunakan
sebagai bagian dari program kebugaran yang dirancang untuk mencegah cedera
musculoskeletal.
5.
Dapat digunakan sebelum dan setelah
latihan berat untuk meminimalkan nyeri otot.
Dalam
pemberian stretching perlu dipahami pula prosedurnya sebab inilah yang mempengaruhi
keberhasilan dari tindakan stretching yang dilakukan, adapun prosedur yang
penting untuk diketahui antara lain, kesejajaran posisi tubuh, stabilitas,
intensitas, durasi, kecepatan, frekuensi, serta mode (Aras dan Purnamasari,
2017).
F.
Traksi
Kondisi
HNP membutuhkan gaya traksi yang cukup untuk melakukan separasi badan vertebra.
Separasi bisa memiliki beberapa efek dalam pembengkakan diskus, termasuk
membuat serabut annular dan ligamen posterior longitudinal rapi, sehingga
meratakan protrusi atau mengurangi tekanan antar diskus, juga tekanan pada
tonjolan. Waktu traksi harusnya pendek karena tekanan akan merata secepatnya
dan meningkatkan pelonggaran tekanan antar diskus, waktu penyembuhan harus
kurang dari 10 menit untuk sustained
traction dan kurang dari 15 menit untuk traksi intermitten. Seringnya, pada
fase akut, traksi intermitten tidak bisa ditoleransi dengan baik. Progresi
tergantung pada toleransi pasien. Ketika gejala sudah kurang mengiritasi, gaya
intermiten yang lebih besar bisa ditoleransi (Aras dan Purnamasari, 2017).
Adapun tujuan traksi yaitu:
1. Efek
penguluran dengan mengulur otot-otot vertebra, menegangkan ligamen dan kapsul
facet joint, melebarkan foramen intervertebralis, meluruskan kurva spinal,
mendorong facet joint, meratakan protrusi diskus nuclear.
2. Efek
mobilisasi seperti translasi, separasi dan penaksiran pada permukaan facet.
3. Efek
relaksasi otot dengan menurunkan nyeri dan spasme serta separasi vertebra
semakin besar.
4. Efek
pada inhibisi atau pengurangan nyeri melalui gerakan mekanik regio. (Aras dan
Purnamasari, 2017).
G.
Mobilisasi
Mobilisasi vertebra adalah bentuk
manual therapy yang ditujukan terutama untuk mengurangi nyeri pada tulang
belakang (dan nyeri sendi lainnya) dan meningkatkan jangkauan gerak sendi.
Teknik ini sering melibatkan dorongan dengan kecepatan tinggi dimana sendi
disesuaikan dengan cepat serta disertai dengan suara “popping” atau “snapping”.
Teknik ini akan menghasilkan peregangan dari kapsul sendi dan dapat memperbaiki
posisi medulla spinalis dan saraf sehingga memungkinkan system saraf berfungsi
optimal dan meningkatkan efisiensi biomekanis tubuh (Mahmoud, 2015).
Teknik mobilisasi dilakukan dengan
melakukan gerakan rotasi axial sehingga dapat meningkatkan tinggi dari foramen
intervertebral. Apabila ruang dari foramen intervertebral meningkat/terbuka
maka terjadi pemulihan posisi vertebral dan terjadi pelepasan akar saraf yang
akan menyebabkan penyurangan nyeri radikuler (Yadav et al, 2014)
H.
Range
of Motion Exercise
ROM
exercise adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau meningkatkan
kempampuan gerakan sendi dengan menggerakan secara normal untuk meningkatkan
massa otot dan tonus otot.
ROM
exercise memiliki manfaat untuk menilai kemampuan tulang dan otot dalam
melakukan gerakan secara bersama, meningkatkan tonus otot, meningkatkan
toleransi otot untuk latihan, mencegah terjadinya kekakuan pada sendi dan
meningkatkan sirkulasi darah (Irawan et al, 2018).
I.
Dynamic
strengthening
Mekanisme
terjadinya peningkatan kekuatan otot ini terjadi karena adanya mekanisme
adaptasi saraf. Perubahan yang diamati dalam system saraf ini dapat terjadi
pada tingkat perifer, medularis, subkortikal dan kortikal. Pada tingkat perifer
dan medularis, terjadi perubahan dalam sinkronisasi unit motoric dan
kondukticitas saraf. Pada tingkat subkortikal dan kortikal, terjadi interaksi
antar saraf pada bagian hemisfer otak dimana visualisasi gerakan yang terjadi
dapat mempengaruhi sel motoric otak sehingga dapat memancing adaptasi untuk
melakukan gerakan. Selain itu, terjadi motor
learning yang mempengaruhi reorganisasi dari bagian kortikal sehingga dapat
terjadi plastisitas antar-hemisfer (Anwer dan Alghadir, 2014).
J.
Bugnet
exercise
Bugnet exercises adalah metode pengobatan berdasarkan kesanggupan dan
kecenderungan manusia untuk mempertahankan sikap badan melawan kekuatan dari
luar. Kemampuan mempertahankan sikap tubuh melibatkan aktivitas sensomotorik
dan mekanisme refleks sikap. Aktivitas motorik terapi ini bersifat umum yang
diikuti oleh fungsi sensorik untuk bereaksi mempertahankan sikap tubuh. Tujuan
terapi ini:
1.
Memelihara
dan meningkatkan kualitas postur tubuh dan gerakan tubuh
2.
Mengoreksi
sikap tubuh yang mengalami kelainan
3.
Memelihara
dan meningkatkan kekuatan dan kemampuan fisik dan psikis sehingga tidak mudah lelah melalui perbaikan sirkulasi
darah dan pernafasan.
4.
Mengurangi
nyeri
BAB IV
MANAJEMEN FISIOTERAPI
A. Proses Pengukuran dan Pemeriksaan Fisioterapi
Anamnesis Umum
Nama : Ny. D. S
Jenis
kelamin : Perempuan
Usia : 29 tahun
Alamat : BTN Tabaria
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Agama : Islam
Vital
Sign
Tekanan
darah : 97/67 mmHg
Denyut
nadi : 89 kali / menit
C: Chief
of complaint
Nyeri punggung bawah sampai telapak kaki
kiri
H: History
taking
1. Nyeri
dirasakaan sejak 7 bulan yang lalu.
2. Awalnya
pasien pernah jatuh dari tangga dalam posisi duduk sejak 4 tahun lalu, namun 7
bulan yang lalu pasien mengalami kecelakaan dan hal inilah yang memicu kembali
nyeri pada punggung bawahnya.
3. Rasa
nyerinya seperti tertusuk-tusuk dan menjalar sampai telapak kaki kiri. Nyeri
dirasakan dari pagi sampai malam apabila pasien tidak meminum obat anti nyeri.
4. Nyeri
bertambah ketika berjongkok, naik turun tangga, dari posisi duduk ke berdiri
dan saat pasien duduk dalam waktu yang lama.
5. Nyeri
juga bertambah ketika pasien batuk atau bersin.
6. Pasien
sudah ke dokter dan diberi obat. Ada perubahan setelah meminum obat, namun
setelah itu nyerinya muncul kembali. Selain itu, dokter juga menyarankan untuk
melakukan operasi.
7. Pasien
sudah melakukan pemeriksaan MRI dan hasilnya ada penjepitan saraf pada L5-S1.
8. Pasien
belum melakukan pemeriksaan laboratorium.
9. Kegitan
sehari-hari terganggu, terutama saat sholat, naik turun tangga, toileting,
memakai celana dan berjalan.
10. Pasien
juga sementara ini berhenti bekerja dikarenakan rasa nyeri yang dirasakan.
11. Saat
pasien masih bekerja, pasien sering memakai high heels.
12. Pasien
memiliki riwayat penyakit infeksi saluran kencing dan maag.
13. Pasien
sangat cemas dengan kondisi yang dialaminya karena sangat mengganggu aktivitas
sehari-hari dan adanya saran dari dokter untuk melakukan operasi
14. Tidak
ada keluhan lain.
A: Assymetry
1. Inspeksi
Statis :
a. Ekspresi
wajah tampak cemas dan meringis kesakitan.
b. Postur
tubuh tampak membungkuk.
2. Inspeksi
Dinamis :
a. Saat
berjalan pasien tampak pincang.
b. Saat
berjalan, pasien cenderung menumpu berat badan ke kaki kanan.
c. Saat
dari jongkok ke berdiri, pasien juga mengeluhkan nyeri di bagian punggung
bawah.
d. Saat
posisi berdiri ke rukuk (gerakan sholat) pasien mengeluhkan nyeri di punggung
bawahnya.
3. Palpasi
:
a. Suhu
: (-) / (-)
b. Kontur
kulit : (-) / (-)
c. Oedem
: (-) / (-)
d. Tenderness : (-) / (+) nyeri di L5-S1,
m. piriformis, dan os simpisis os pubis.
4. PFGD
:
a. Regio
Hip
|
Aktif
|
Pasif
|
TIMT
|
Fleksi
|
Mampu,
tidak full ROM, nyeri.
|
Tidak
full ROM, nyeri, elastic endfeel.
|
Mampu,
nyeri
|
Ekstensi
|
Mampu,
tidak full ROM, nyeri.
|
Tidak
full ROM, nyeri, elastic endfeel.
|
Mampu,
nyeri
|
Abduksi
|
Mampu,
tidak full ROM, nyeri.
|
Tidak
full ROM, nyeri, elastic endfeel.
|
Mampu,
nyeri
|
Adduksi
|
Mampu,
tidak full ROM, nyeri.
|
Tidak
full ROM, nyeri, elastic endfeel.
|
Mampu,
nyeri
|
Exorotasi
|
Mampu,
tidak full ROM, nyeri.
|
Tidak
full ROM, nyeri, elastic endfeel.
|
Mampu,
nyeri
|
Endorotasi
|
Mampu,
tidak full ROM, nyeri.
|
Tidak
full ROM, nyeri, elastic endfeel.
|
Mampu,
nyeri
|
b. Regio
Lumbal
|
Aktif
|
Pasif
|
TIMT
|
Fleksi
|
Tidak
mampu, tidak full ROM, nyeri.
|
Tidak
full ROM, nyeri, abnormal endfeel.
|
Tidak
mampu, nyeri.
|
Ekstensi
|
Tidak
mampu, tidak full ROM, nyeri.
|
Tidak
full ROM, nyeri, abnormal endfeel.
|
Tidak
mampu, nyeri.
|
Lateral
Fleksi Dextra
|
Mampu,
full ROM, nyeri.
|
Full
ROM, nyeri, tissue stretch endfeel.
|
Mampu,
nyeri
|
Lateral
Fleksi Sinistra
|
Mampu,
full ROM, nyeri.
|
Full
ROM, nyeri, tissue stretch endfeel.
|
Mampu,
nyeri
|
Rotasi Dextra
|
Tidak mampu, tidak full ROM, nyeri.
|
Tidak full ROM, nyeri,
abnormal endfeel.
|
Tidak mampu, nyeri.
|
Rotasi Sinistra
|
Tidak mampu, tidak full ROM, nyeri.
|
Tidak full ROM, nyeri,
abnormal endfeel.
|
Tidak mampu, nyeri.
|
R: Restrictive
1.
Limitasi ROM : Gerakan aktif, pasif dan TIMT regio hip sinistra dan
lumbal.
2. Limitasi
Pekerjaan : Menggangu dan menghambat aktivitas di rumah.
3. Limitasi
ADL : Walking, toileting, dressing dan praying.
4. Limitasi
Rekreasi : Terganggu.
T: Tissue
impairment and psychological prediction
1. Psikogen
: Kecemasan.
2. Neurogen
: Entrapment n. ischiadicus.
3. Musculotendinogen
: spasme m. piriformis; m. quadratus lumborum; m. erector spine dan muscle
weakness m. quadriceps.
4. Osteoarthrogen
: (-).
S: Specific
test
1. Hamilton Depression Scale : 21 (depresi berat)
2. Visual Analog Scale (VAS)
a.
Nyeri diam : 2
b.
Nyeri tekan : 9
c.
Nyeri gerak : 7
3. Manual Muscle Test (MMT) : Nilai 3- untuk
fleksi-ekstensi-rotasi lumbal, nilai 4 untuk lateral fleksi dextra-sinistra
lumbal, nilai 3- untuk semua gerakan region hip.
4. SLR Test : (-) / (+) nyeri 30o
5. Neri Test : (-) / (+) nyeri
6.
Compression Test : (+)
nyeri di L5-S1
7.
Slump Test : (-)
/ (+) nyeri.
8.
Patrick Test : (-)
/ (-)
9.
Antipatrick Test : (-)
/ (+) nyeri
10.
Briding Test : tidak
mampu dilakukan
11. Range of Motion (ROM)
a. Regio
hip:
S. 10o – 0o – 30o
F. 20o – 0o – 25o
R. 25o – 0o – 20o
b. Regio
lumbal:
S. 10o – 0o – 20o
F. 30o – 0o – 30o
R. 10o – 0o – 10o
12. Hasil
foto MRI
a. Kurva
fisiologi melurus sesuai muscle spasm.
b. L5-S1:
annular tear dan central disc protrusion yang menekan thecal sac dan exiting
nerve root kiri.
B. Diagnosis Fisioterapi
Adapun
diagnosis fisioterapi yang dapat ditegakkan dari hasil proses pengukuran dan
pemeriksaan tersebut, yaitu:
“Gangguan
aktivitas fungsional lumbal berupa nyeri, tenderness, muscle spasm, muscle
weakness, limitasi ROM dan limitasi ADL e.c HNP grade III sejak 7 bulan yang
lalu”
C. Problem, Planning, dan Program Fisioterapi
Adapun
problem dan planning fisioterapi yang dapat diuraikan berdasarkan hasil proses
pengukuran dan pemeriksaan tersebut, yaitu:
1. Problem:
a. Primer:
entrapment n. ischiadicus
b. Sekunder:
1) Kecemasan.
2) Nyeri.
3) Spasme
m. piriformis, m. quadratus lumborum, m. erector spine.
4) Muscle
weakness quadriceps femoris.
5) Tenderness
L5-S1 dan os. simpisis os pubis
6) Limitasi
ROM regio hip dan lumbal.
7) Gangguan
postur.
c. Kompleks:
Gangguan ADL walking, toileting, dressing
and praying.
2. Planning:
a. Tujuan
jangka panjang: mengembalikan aktifitas fungsional ADL walking, toileting, dressing dan
praying.
b. Tujuan
jangka pendek:
1) Mengatasi
kecemasan.
2) Mengurangi
nyeri.
3) Melepaskan
entrapment n. ischiadicus.
4) Mengurangi
spasme m. erector spine dan m. quadratus lumborum.
5) Mengurangi
tenderness m. piriformis, L5-S1, dan os. Cocygeus.
6) Meningkatkan
ROM regio hip dan lumbal.
7) Meningkatkan
kekuatan m. quadriceps.
8) Memperbaiki
postur tubuh.
3. Program:
No.
|
PROBLEM FISIOTERAPI
|
MODALITAS FISIOTERAPI
|
DOSIS
|
1
|
Kecemasan
|
Komunikasi
terapeutik
|
F
: 1x/hari
|
I
: Penderita fokus
|
|||
T
: Interpersonal approach
|
|||
T
: Selama proses FT
|
|||
2
|
Pre-eliminary
exercise
|
Elektroterapi
(Infrared)
|
F
: 1x/hari
|
I : 30 cm diatas kuilt
|
|||
T
: Lokal
|
|||
T
: 10 menit
|
|||
3
|
Nyeri
dan
tenderness L5-S1,
m. piriformis dan simpisis os pubis
|
Elektroterapi
(Interferensi)
|
F
: 1x/hari
|
I
: 21 mA
|
|||
T
: Animal segmental
|
|||
T
: 10 menit
|
|||
Manual
Therapy
|
F
: 1x/hari
|
||
I
: 30% pressure
|
|||
T
: Friction circular
|
|||
T
: 1 menit
|
|||
4
|
Spasme
m. erector spine dan m. quadratus lumborum
|
Exercise
therapy
|
F
: 1x/hari
|
I
: 16 hit, 3 repetisi
|
|||
T
: stretching exc (connective tissue release dan elongation)
|
|||
T
: 1 menit
|
|||
5
|
Entrapment
n. ischiadicus
|
Manual
therapy
|
F
: 1x/hari
|
I
: 8 hit, 3 repetisi
|
|||
T
: Traksi dan mobilisasi L5-S1
|
|||
T
: 1 menit
|
|||
6
|
Limitasi
ROM regio hip dan lumbal
|
Exercise
Therapy
|
F
: 1x/hari
|
I
: 8 hit, 3 repetisi
|
|||
T
: PROMEX, AROMEX
|
|||
T
: 3 menit
|
|||
7
|
Kelemahan
otot quadriceps femoris dan menjaga balance muscle abductor hip
|
Exercise
Therapy
|
F
: 1x/hari
|
I
: 8 hit, 3 repetisi
|
|||
T
: Dinamic sterngthening
|
|||
T
: 2 menit
|
|||
8
|
Gangguan
postur
|
Exercise
therapy
|
F
: 1x/hari
|
I : 8 hit, 3 repetisi
|
|||
T
: Bugnet exc
|
|||
T
: 2 menit
|
|||
9
|
Gangguan
ADL walking, toileting, dressing dan praying
|
Exercise
Therapy
|
F
: 1x/hari
|
I
: 3 repetisi
|
|||
T
: Fungsional exc (latihan berjalan dengan pola jalan normal, latihan jongkok
ke berdiri, latihan gerakan sholat)
|
|||
T
: 5 menit
|
C. Evaluasi dan Modifikasi Fisioterapi
Adapun hasil evaluasi dan
modifikasi terhadap program fisioterapi yang telah diberikan pada klien
tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Evaluasi
sesaat:
No.
|
Alat ukur
|
Sebelum Intervensi
|
Setelah 2 Kali Intervensi
|
Ket.
|
1
|
Hamilton Depression Scale
|
21 (depresi berat)
|
17 (depresi
rsedang)
|
Depresi menurun
|
2
|
VAS
|
Nyeri diam
: 2
Nyeri tekan : 9
Nyeri gerak : 7
|
Nyeri diam
: 1
Nyeri tekan : 7
Nyeri gerak : 6
|
Nyeri
berkurang
|
3
|
Goniometer
|
Regio hip sinistra:
S. 10o – 0o –
30o
F. 20o – 0o –
25o
R. 25o – 0o –
20o
|
Regio hip sinistra:
S. 20o – 0o –
50o
F. 25o – 0o –
30o
R. 30o – 0o –
25o
|
ROM meningkat
|
Regio lumbal:
S. 10o – 0o –
20o
F. 30o – 0o –
30o
R. 10o – 0o –
10o
|
Regio lumbal:
S. 15o – 0o –
20o
F. 30o – 0o –
30o
R. 15o – 0o –
15o
|
|||
4
|
Manual
Muscle Test
|
Nilai 3- untuk
fleksi-ekstensi-rotasi lumbal, nilai 4 untuk lateral fleksi dextra-sinistra
lumbal, nilai 3- untuk semua gerakan regio hip.
|
Nilai 3- untuk
fleksi-ekstensi-rotasi lumbal, nilai 5 untuk lateral fleksi dextra-sinistra
lumbal, nilai 3- untuk semua gerakan regio hip.
|
Kekuatan
otot meningkat
|
2.
Modifikasi:
Modifikasi
program FT yang dapat diberikan berupa:
a. Mc. Kenzi exercise: untuk mengurangi nyeri pada
bagian lumbal, memperbaiki posisi dari nucleus pulposus serta memperbaiki
postur tubuh.
b. Briding exercise + approximasi: untuk penguatan otot-otot core
dan sebagai stabilisasi.
c.
Cat
and camel exercise:
untuk rileksasi dan penguatan dari back
muscle.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwer, S., and
Alghadir, A. 2014. Effect Of Isometric Quadriceps Exercise On Muscle Strength,
Pain And Function In Patients With Knee Osteoarthritis: A Randomized Controlled
Study. Journal pf physical therapy
science, 26(5): 745-748.
Aras, D. dan
Ahsaniyah, A. B. 2017. Elektroterapi dan
Sumber Fisis. Makassar: CV. Physio Sakti.
Aras, D., dan
Purnamasari, N. 2017. Terapi Latihan.
Makassar: CV. Physio Sakti.
Company. B. W. 2000. Classification,
diagnostic imaging, and imaging characterization of a lumbar. Volume 38.
Doley, M.,
Warikoo, D., and Arunmozhi, R. Effect Of Positional Release Therapy And Deep
Transverse Friction Massage On Gluteus Medius Trigger Point – A Comparative
Study. Journal Of Exercise Science And
Physiotherapy, 9(1): 40-45.
Fuentes, J, P.,
Olivo, S. A., Magee, D. J., and Gross, D. P. 2010. Effectiveness Of
Interferential Current Therapy In The Management Of Musculoskeletal Pain: A
Systematic Review An Meta-Analysis. American
Physical Therapy Association, 90(9): 1219-1238.
Helmi, Z, N. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal.
Jakarta: Salemba Medika.
Irawan, C.,
Suharto, M., and Santjaka, A. 2018. Combination of hypnosis therapy and range
of motion exercise on upper-extremity muscle strength in patients wit
non-hemorraghic stroke. Belitung nursing journal, 4(1): 104-111.
Kurniasih, E. 2011. Penambahan Terapi Latihan
Mc. Kenzie Pada Intervensi SWD, TENS dan Massage Dapat Lebih Menurunkan Nyeri
Pinggang pada Kasus Low Back Pain (LBP). Skripsi. Bali: Universitas
Udayana.
Lucas, M,. & Antradi, S. 2003. Nyeri
Punggung. Use Neurontin.
Mahmoud, W. S. E. 2015. Effect Of Nueral Mobilization Versus Spinal
Manipulation In Patients With Radicular Chronic Low Back Pain. European Journal Of Scientific Research,
131(1): 122-132.
Moore, Keith L dan A. M. R. Agur. 2013. Clinically Oriented Anatomy. Philladhelpia: Lippincott Williams
& Wilkins.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan
Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba
Medika.
Pinzon, R. Profil Klinis Pasien Nyeri
Punggung Akibat Hernia Nukelus Pulposus. Vol 39. SMF Saraf RS Bethesda
Yogyakarta. Indonesia. 2012. Hal 749-751.
Pratiwi, D.P.M,. 2016. Hubungan
Posisi Duduk dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah Non Spesifik pada Pengemudi
Angkutan Kota di Terminal Ubung. Universitas Udayana. Bali
Reijo, A. 2006. MRI Of Herniated Nucleus
Pulposus. Acta Universitatis Ouluensis D Medica. Hal 1-31.
Samuel, S. R.,
and Maiya, G. A. 2015. Application Of Low Frequency And Medium Frequency
Currents In The Management Of Acute And Chronic Pain- A Narrative Review. Indian journal of palliative care,
21(1): 116-120.
Shankar H., M.B.B.S., Scarlett A.J.
M.D., Abram E.S.M.D. 2009. Anatomy and Pathophysiology of Intervertebral Disc
Disease. Techniques in Regional
Anasthesia and Pain Management, 13(2): 67-75.
Setyanegara dkk. 2014. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Syarifa. 2017.
Komunikasi terapeutik terapis pada pasien penderita stroke di rumah sakit umum.
Pekanbaru.
Yadaf, S.,
Nijhawan, M. A., and Panda, P. 2014. Effectiveness
Of Spinal Mobilization With Leg Movement (Smwlm) In Patients With Lumbar
Radiculopathy (L5 / S1 Nerve Root) In Lumbar Disc Herniation. International Journal of Physiotherapy And
Research, 2(5): 712-718.
LAMPIRAN
Lampiran
1. Hamilton Depression Scale
No.
|
Kemampuan
|
Penilaian
|
Nilai
|
||
1.
|
Keadaan
Perasaan Sedih
(sedih, putus asa, tak
berdaya, tak berguna)
|
0
1
2
3
4
|
:
:
:
:
:
|
Tidak
ada
Perasaan
ini hanya ada bila ditanya
Perasaan
ini ditanyakan secara verbal spontan
Perasan
yang nyata tanpa komunikasi verbal, misalnya ekspresi wajah, bentuk, suara,
dan kecenderungan menangis
Pasien
menyatakan perasaan yang sesunguhnya ini dalam komunikasi baik verbal maupun
non verbal secara spontan
|
3
|
2.
|
Perasaan
Bersalah
|
0
1
2
3
4
|
:
:
:
:
:
|
Tidak
ada
Menyalahkan
diri sendiri dan merasa sebagai penyebab penderitaan orang lain
Ada
ide-ide bersalah atau renungan tentang kesalahan masa lalu
Sakit ini sebagai hukuman,
waham bersalah, dan berdosa
Ada suara-suara kejaran atau tuduhan dan
halusinasi pengihatan tentang hal-hal yang mengancamnya
|
1
|
3.
|
Bunuh
Diri
|
0
1
2
3
|
:
:
:
:
|
Tidak
ada
Merasa
hidup tidak ada gunanya
Mengharapkan
kematian atau pikiran-pikiran lain ke arah itu
Ada
ide-ide bunuh diri atau langkah-langkah ke arah itu
|
0
|
4.
|
Gangguan
Pola Tidur
(Initial Insomnia)
|
0
1
2
|
:
:
:
|
Tidak
ada
Ada
keluhan, kadang-kadang sukar masuk tidur. Misalnya >30 menit baru masuk
tidur
Ada
keluhan, tiap malam sukar masuk tidur
|
1
|
5.
|
Gangguan
Pola Tidur
(Middle Insomnia)
|
0
1
2
|
:
:
:
|
Tidak
ada
Pasien
merasa gelisah dan terganggu sepanjang malam
Terganggu
sepanjang malam (bangun dari tempat tidur kecuali buang air kecil)
|
1
|
6.
|
Gangguan
Pola Tidur
(Late Insomnia)
|
0
1
2
|
:
:
:
|
Tidak
ada
Bangun
saat dini hari tetapi dapat tidur lagi
Bangun
saat dini hari tetapi tidak dapat tidur lagi
|
1
|
7.
|
Kerja
dan Kegiatan-kegiatannya
|
0
1
2
3
4
|
:
:
:
:
:
|
Tidak
ada
Berfikir
tidak mampu, keletihan/ kelemahan yang berkaitan dengan kegiatan kerja/ hobi
Hilangnya
minat terhadap pekerjaan/ hobi
Berkurangnya
waktu untuk aktivitas sehari-hari atau produktivitas menurun
Tidak
bekerja karena sakitnya
|
4
|
8.
|
Kelambanan
(lambat dalam berfikir,
berbicara, gagal berkonsentrasi, dan aktivitas motorik menurun)
|
0
1
2
3
|
:
:
:
:
|
Normal
Sedikit
lamban dalam wawancara
Jelas
lamban dalam wawancara
Sukar
diwawancarai; stupor (diam sama
sekali)
|
0
|
9.
|
Kegelisahan
|
0
1
2
3
4
|
:
:
:
:
:
|
Tidak
ada
Kegelisahan
ringan
Memainkan
tangan jari-jari, rambut, dan lain-lain
Bergerak
terus, tidak dapat duduk dengan tenang
Meremas-remas
tangan, menggigit kuku, menarik-narik rambut, menggigt bibir
|
1
|
10.
|
Kecemasan
(Ansietas somatik)
|
0
1
2
3
4
|
:
:
:
:
:
|
Sakit/nyeri
pada otot, kaku, kedutan otot; gigi gemeretak; suara tidak stabil; tinnitus (telinga
berdenging); penglhatan kabur; muka merah atau pucat; perasaan ditusuk-tusuk.
Tidak
ada
Ringan
Sedang
Berat
Ketidakmampuan
|
4
|
11.
|
Kecemasan
(Ansietas psikis)
|
0
1
2
3
4
|
:
:
:
:
:
|
Tidak
ada
Ketegangan
subyektif dan mudah tersinggung
Mengkhawatirkan
hal-hal kecil
Sikap
kekhawatiran yang tercermin di wajah atau pembicaraaannya
Ketakutan
yang diutarakan tanpa ditanya
|
1
|
12.
|
Gejala
Somatik
(Pencernaan)
|
0
1
2
|
:
:
:
|
Tidak
ada
Nafsu
makan berkurang tetapi dapat makan tanpa dorongan teman, merasa perutnya
penuh
Sukar
makan tanpa bantuan teman, membutuhkan pencahar untuk buang air besar atau
obat-obatan untuk saluran pencernaan
|
0
|
13.
|
Gejala
Somatik
(Umum)
|
0
1
2
|
:
:
:
|
Tidak
ada
Anggota
gerak, punggung, atau kepala terasa berat
Sakit punggung,
kepala dan otot-otot, hilangnya kekuatan dan kemampuan
|
2
|
14.
|
Kotamil
(Genital)
|
0
1
2
|
:
:
:
|
Sering
buang air kecil terutama malam hari di kala tidur, tidak haid, darah haid
sedikit sekali, tidak ada gairah seksual, ereksi hilang, impotensi
Tidak
ada
Ringan
Berat
|
0
|
15.
|
Hipokondriasis
(Keluhan somatic fisik yang
berpindah-pindah)
|
0
1
2
3
4
|
:
:
:
:
:
|
Tidak
ada
Dihayati
sendiri
Preokupasi
(keterpakuan) mengenai kesehtan sendiri
Sering
mengeluh membutuhkan pertolongan orang lain
Delusi
hipokondriasi
|
3
|
16.
|
Kehilangan Berat Badan
|
0
1
2
3
|
:
:
:
:
|
Tidak
ada
Berat badan
berkurang berhubungan dengan penyakitnya sekarang
Jelas
penurunan berat badan
Tak
terjelaskan lagi penurunan berat badan
|
1
|
17.
|
Insight
(Pemahaman diri)
|
0
1
2
|
:
:
:
|
Mengetahui
dirinya sakit dan cemas
Mengetahui
sakit tapi berhubungan dengan penyebab iklim, makanan, kerja berlebihan,
virus, perlu istirahat, dll
Menyangkan
bahwa ia sakit
|
0
|
18.
|
Variasi Harian
|
0
1
2
|
:
:
:
|
Adakah
perubahan keadaaan yang memburuk pada waktu malam atau pagi
Tidak
ada
Buruk
saat pagi
Buruk
saat malam
|
0
|
19.
|
Depersonalisasi
(Perasaan Diri Berubah)
Dan Derelisiasi
(Perasaan tidak nyata –
tidak realistis)
|
0
1
2
3
4
|
:
:
:
:
:
|
Tidak
ada
Ringan
Sedang
Berat
Ketidakmampuan
|
0
|
20.
|
Gejala Paranoid
|
0
1
2
3
|
:
:
:
:
|
Tidak
ada
Kecurigaan
Pikiran
dirinya menjadi pusat perhatian peristiwa kejadian diluar tertuju pada
dirinya (ideas refence)
Waham
(delusi) dikejar/ diburu
|
0
|
21.
|
Gejala Obsesi dan Kompulsi
|
0
1
2
|
:
:
:
|
Tidak
ada
Ringan
Berat
|
0
|
TOTAL
NILAI
|
41
|
Interpretasi
:
0 - 7 = Normal
8 - 13 = Depresi
ringan
14 - 18 = Depresi
sedang
19 - 22 = Depresi
berat
> 23 = Depresi sangat berat
|
Total
Nilai :21
Interpretasi
:Depresi berat
|
Lampiran 2. Skala Manual Muscle Test
Nilai/ Skor
|
Kategori
|
Interpretasi
|
5
|
Normal
|
Full ROM, menahan tahanan
maksimum
|
4
|
Baik
|
Full ROM, menahan tahanan
sedang
|
3+
|
Cukup
+
|
Full ROM, melawan gravitasi
dan mampu melawan tahanan minimum
|
3
|
Cukup
|
Full ROM melawan gravitasi
|
3-
|
Cukup
-
|
Full ROM tanpa pengaruh
gravitasi, lebih dari setengah ROM melawan gravitasi
|
2+
|
Lemah
+
|
Full ROM tanpa pengaruh
gravitasi, kurang dari setengan ROM melawan gravitasi
|
2
|
Lemah
|
Full ROM tanpa pengaruh
gravitasi
|
2-
|
Lemah
-
|
Parsial ROM tanpa pengaruh
gravitasi
|
1
|
Sangat
Lemah
|
Sedikit kontraksi (Inspeksi
atau Palpasi), tanpa ada gerakan sendi
|
0
|
Tidak
ada kekuatan sama sekali
|
Tidak ada kontraksi sama
sekali
|
Subscribe to:
Posts (Atom)